Sunday, February 24, 2013

Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid

Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid
Beberapa perdebatan tentang seputar ibadah pada saat haid serta larangan-larangan ketika seseorang (akhwat) haid menjadi problema yang hampir diperdebatkan sampai saat ini, berikut adalah sedikit penjelasan tentang boleh atau tidakkah seseorang (akhwat) melakukan sesuatu hal (tercantum) dalam keadaan haid?

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid masuk & duduk di dlm masjid ?
Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk & duduk di dlm masjid dgn dalil:

لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدُ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ
“Aku tak menghalalkan masjid utk wanita yang haidh & orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, & lain-lain)

Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tak bisa menguatkannya & tak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dlm ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, & Asy Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dlm Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.

Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):
Adanya seorang wanita hitam yang tinggal di dlm masjid pada zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Namun tak ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkannya utk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haidh.

Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha, “Lakukanlah apa yang bisa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thowaf di Baitullah.” Larangan thowaf ini dikarenakan thowaf di Baitullah termasuk sholat, maka wanita itu hanya dilarang utk thowaf & tak dilarang masuk ke dlm masjid. Apabila orang yang berhaji diperbolehkan masuk masjid, maka hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haidh.

Kesimpulan:
"Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk & duduk di dlm masjid karena tak ada dalil yang jelas & shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dgn baik sehingga darahnya tak mengotori masjid"

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang utk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dgn dalil:
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ
“Orang junub & wanita haid tak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)

Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah & aku tak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz & ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)

Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tak dapat digunakan sebagai dalil utk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tak melakukan thowaf di Baitullah & (sa’i) antara Shofa & Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)

Seorang yang melakukan haji diperbolehkan utk berdzikir & membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)

Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan utk berdzikir & membaca Al Qur’an karena tak ada dalil yang jelas & shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dgn ayat:
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)

يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.

Mereka juga berdalil dgn hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman & di dalamnya terdapat perkataan:
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)

Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)

Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)

Kata ganti (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, & Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.

Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tak kuasa & tak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).

Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:

Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, & selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]

Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat & para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; & para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)

Imam Asy Syaukani berkata dlm Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, & Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maka tak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib utk membawanya kepada arti: Orang yang tak musyrik sebagaimana dlm firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)

Di samping itu lafadz yang digunakan dlm ayat tersebut adalah dlm bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dlm bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.

Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dlm hadits ini adalah orang mu’min baik dlm keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” & hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dlm hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik utk menyentuhnya, sebagaimana dlm hadits:
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو
“Beliau melarang perjalanan dgn membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). 

Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf utk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri & berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri & berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dlm Al Muwaththa’ dgn sanad yang shahih)

Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ & demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)

Abu Muhammad bin Hazm dlm Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf & berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan utk dilakukan & pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).

Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tak ada dalil yang jelas & shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.

*)Sumber : salafy.web.id

©2013 Copyright Ciniki Ronk A. ILLank

Terima Kasih telah membaca artikel/puisi tentang Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid dan anda bisa menemukan artikel Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid ini dengan url https://cinikironk.blogspot.com/2013/02/perihal-perdebatan-ulama-tentang-haid.html?m=0, sebelum anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid ini sebaiknya lupa untuk membaca halaman tentang Peraturan HAK CIPTA(Copyright) dari blog ini, semoga bermanfaat bagi teman-teman anda, dan jika berkenan jangan lupa untuk meletakkan link Perihal Perdebatan Ulama Tentang Haid sumbernya.

smile TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA smile

0 komentar :

Post a Comment


 
TOP